4 Tahun Berkuasa, PR Jokowi Masih Numpuk
Gema Indonesia Raya - Setelah empat tahun memerintah, Presiden Jokowi dinilai belum juga memenuhi janji-janjinya. Khususnya soal penegakan hukum dan HAM. Kalangan aktivis mencatat, masih banyak agenda hukum dan HAM yang belum dilaksanakan pemerintah.
Hal ini diungkap Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati. Menurutnya, pencapaian agenda reformasi kebijakan hukum yang dijalankan pemerintahan Jokowi belum memenuhi dan belum merealisasikan Nawacita.
Pertama, terkait reformasi kebijakan pidana baik materil maupun hukum acara.
“Keberpihakan R KUHP terhadap HAM, perlindungan anak, perempuan dan kelompok marjinal, pemberantasan korupsi, sampai dengan reformasi penegakan hukum masih cukup jauh,” ujarnya.
Banyak ketentuan dalam R KUHP yang sama sekali tidak berpihak pada kelompok sasaran yang ingin dilindungi oleh Pemerintah. Secara garis besar, RKUHP bersifat sangat kolonial dan khas pemerintahan otoriter. Sedari awal pembahasan RKUHP tidak didahului dengan evaluasi dan harmonisasi semua ketentuan pidana yang ada.
“Alhasil pembahasan RKUHP dilakukan tanpa arah yang jelas. Evaluasi jelas penting untuk mengatasi masalah disharmoni peraturan. Kegagalan dalam harmonisasi peraturan nantinya berujung pada tingginya angka pemenjaraan di Indonesia,” terangnya.
Kedua, reformasi kebijakan sebagai upaya penghapusan hukuman mati di Indonesia. Pemerintah Indonesia di mata internasional menunjukkan sikap dualisme terhadap hukuman mati. Seperti, Kementerian Luar Negeri secara terbuka menyatakan bahwa penyelamatan warga negara Indonesia di luar negeri dari ancaman pidana mati sebagai sebuah keberhasilan, namun di dalam negeri tuntutan pidana mati masih terus terjadi.
“Pemerintahan Jokowi bahkan mensahkan peraturan yang memuat hukuman mati, yaitu UUno. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan UUno. 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Terorisme yang masih menerapkan hukuman mati,” sebutnya.
Ketiga, kebijakan pemasyarakatan sebagai usaha menyeluruh membenahi sistem peradilan pidana. Gagalnya pelaksanaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan serta kegagalan pemerintah dalam mengembangkan bentuk baru dari alternatif pemidanaan non-pemenjaraan menjadi salah satu penyebab utama terus meningkatnya angka overcrowding di Indonesia.
“Sayangnya, pesan-pesan yang disampaikan melalui kebijakan tersebut tidak diindahkan pemerintah dan perumus RKUHP. Masalah koordinasi antar organ pemerintah jelas terlihat dari fenomena ini,” tandas Maidina.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan, pemerintahan Jokowi-JK gagal memenuhi janji-janji berkaitan hak asasi manusia (HAM).
“Pemerintah Jokowi terlihat tidak menjadikan isu HAM sebagai prioritas. HAM dikalahkan ambisi pemerintah untuk menggenjot pembangunan infrastruktur,” kata Koordinator KontraS, Yati Andriani.
Kontras mencatat, berdasarkan Nawacita, ada 17 program atau janji-janji HAM Jokowi-JK. Enam janji yang tidak terpenuhi. Sedangkan 11 janji dipenuhi, namun tidak secara utuh. Komitmen yang dipenuhi umumnya hanya di sektor ekonomi, sosial, dan budaya.
“Berdasarkan 46 rencana aksi HAM atau Ranham, sebagian besar komitmen tidak jelas status pencapaiannya,” beber Yati Andriani. (rmol)
No comments