Header Ads

  • Breaking News

    Ketika Emak-Emak Melek Politik

    Ketika Emak-Emak Melek Politik

    Tring! Tring! Ponsel Puji Astuti terus berdering. Tanda banyak pesan masuk dari WhatsApp. Sempat dilirik. Banyak pesan berasal dari grup. Tapi tak langsung dibuka. Sebab siang itu dia baru saja tiba di rumah. Setelah seharian bekerja sebagai guru Taman Kanak-Kanak (TK). 


    Di antara pesan dari grup WhatsApp, sedang membahas tentang politik. Menginformasikan tentang Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Mulai dari prestasi hingga kabar hoaks. Terkadang dahi Puji Astuti agak mengernyit lantaran mendapat informasi pahit. Tentu mengenai jagoannya di Pilpres 2019 nanti.

    Di luar pekerjaan sebagai pengajar, Puji Astuti juga seorang ibu rumah tangga. Memiliki dua anak. Tinggal di Ciledug, Jakarta Selatan. sementara dia mengajar di daerah Slipi, Jakarta Barat. Sepuluh kilo meter dari rumahnya.

    Tiap pagi, wanita 50 tahun itu menembus kemacetan untuk bekerja. Mengendarai sepeda motor. Barulah selepas jam makan siang bisa kembali ke rumah. Memainkan perannya sebagai seorang istri dan ibu. Puhi Astuti bercerita, fia memiliki banyak waktu luang selepas mengajar. Sebab dua anaknya telah dewasa. Salah satunya sudah menikah dan tinggal terpisah.

    Tak banyak pekerjaan rumah yang dikerjakan Puji Astuti. Saat senggang lebih banyak menghabiskan waktu berselancar di dunia maya. Umurnya memang tak muda lagi. Sudah setengah abad lewat dan bukan berarti gaptek. Dia emak-emak canggih sekaligus melek teknologi.

    Sederet akun media sosial dia punya. Namun, lebih aktif menggunakan Facebook dan Instagram. Lewat ini, Puji mendapatkan segudang informasi. Termasuk perpolitikan di Indonesia.

    Bicara soal politik bukan hal tabu bagi dirinya. Sejak zaman orde baru sampai era reformasi bisa dibilang dia saksi hidup perjalanan politik Indonesia. Hal inilah membuat Puji Astuti mempunyai pandangan tersendiri membandingkan tiap zaman.

    Walau banyak mengalami tiap pergantian presiden, dia belum pernah menyuarakan pandangan politiknya secara terbuka. Paling-paling hanya diskusi dengan suaminya. Itu pun hanya sekedar berkomentar. Maklum saja suara emak-emak, mengeluh soal kenaikan harga.

    Belakangan dia mulai tertarik menyatakan pendapatnya. Dimulai lewat media sosial. Terutama melalui Facebook dan Instagram. Sifat kritisnya timbul. Belakangan dirinya merasa gemas dengan kondisi negara sejak dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bukan dia benci. Melainkan merasa perlu ada kritisi.

    Keluhannya mulai dari harga bahan pokok. Sebagai pemegang pagu anggaran rumah tangga keluarga, tentu dia merasakan betul naiknya banyak bahan pokok. Apalagi ketika telur meroket hingga RP 30 ribu per kilogram. Puji Astuti sampai geleng-geleng kepala kala itu. Tak menyangka naik drastis. Lalu, keluhan lainnya terkait kenaikan harga tarif dasar listrik sampai masih adanya kasus korupsi.

    "Saya gregetan lihatnya dan kayaknya sudah waktunya kita kaum emak-emak turun tangan, bukan cuma komen-komen atau kesel-kesel sendiri," ungkapnya kepada merdeka.com, Kamis pekan lalu.

    Di media sosial, Puji Astuti ternyata tidak sendiri. Banyak kawannya di Facebook mengalami hal serupa. Terdorong untuk turut andil dalam politik. Dia mengaku kecewa dengan pemerintahan saat ini. Banyak hal tak beres, katanya. Makanya dia menginginkan adanya perubahan. Salah satunya dengan mengganti Presiden.

    Pilihannya jatuh pada pasangan bakal calon presiden Prabowo Subianto dan wakilnya Sandiaga Uno. Ada harapan besar dia gantungkan pada mantan Danjen Kopassus itu. Berharap bisa membuat negara ini lebih baik dari hari ini. Tentu bukan berarti dia akan terlena. Puji Astuti pun siap mengkritisi bila jagoannya nanti tidak memenuhi janji.

    Fenomena kaum emak-emak terjun politik memang unik. Mereka kuat. Jangan ragukan soal loyalitasnya. Karena sebagai wanita sudah teruji melewati banyak cobaan. Hamil, melahirkan, membesarkan anak sampai mengurus rumah dan seabrek kerjaan lainnya. Sehingga tak heran bila sampai ada sebutan 'The Power of Emak-Emak'.

    Walaupun sebutan itu berawal dari banyak kejadian emak-emak kerap berlaku seenaknya. Seperti dalam berkendara khususnya naik motor. Mereka kerap sembarangan memberi lampu sign. Bila lampu dinyalakan sebelah kiri, mereka malah belok ke kanan. Atau bila sudah tahu salah malah tetap berkukuh benar lewat argumen dan suara lantang.

    Tenang tidak semua begitu kelompok emak-emak seperti itu. Tadi hanya beberapa contoh bila kita melihat peristiwa sempat viral lewat video di Youtube. Banyak pula kaum emak punya segudang prestasi dan membanggakan negara.

    Masih soal dukungan politik kaum emak-emak. Kisah berbeda datang dari Dwi, orangtua tunggal dengan tiga anak. Demi menghidupi ketiga anaknya, Dwi bekerja serabutan. Mulai dari berjualan, pengemudi ojek online sampai jasa pengurusan berkas. Apa saja demi menghasilkan Rupiah. Selain bekerja, dia mengurus ketiga anaknya masih sekolah.

    Meski begitu, Dwi masih sempat masih sempat memperhatikan kondisi politik. Banyak menonton siaran berita di televisi. Dia juga banyak bersinggungan dengan simpatisan beberapa partai. Di antaranya kader partai PDIP dan NasDem. Dari mereka, Dwi banyak mendapatkan informasi tentang politik.

    Ketertarikannya pada politik semakin menggebu kala dia membaca buku berjudul 'Kerja Nyata'. Buku tentang berbagai kebijakan dan prestasi dari mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Baginya, buku itu bukan sebuah pencitraan.

    Dwi merasakan langsung manfaat dari berbagai kebijakan Ahok kala itu. Seperti Kartu Jaminan Kesehatan, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP) untuk ketiga anaknya. "Jadi yang ditulis di buku sama kaya kenyataannya," kata Dwi, Jumat pekan lalu.

    Di mulai dari Ahok, warga asli Kemayoran tersebut kini menjadi relawan Pro-Jokowi (Projo) sejak tahun 2017. Katanya, baik Ahok maupun Jokowi memiliki kinerja nyata untuk rakyat. Karyanya langsung bisa dinikmati. Dia merasa perjuangan Presiden Jokowi patut dipertahankan. Sebab dia khawatir bila berganti pemimpin maka kebijakan pun akan berubah. Utamanya terkait berbagai bantuan sosial. 


    Meski begitu, bukan berarti dia tak punya keluhan. Dwi sadar betul tak semua kebijakan Jokowi baik. Kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik cukup membuatnya kelimpungan. Memotong pos anggaran lain demi menutupi bayar listrik bulanan. Hidupnya harus diakui makin berat.

    Sadar atas kondisi hidupnya, ibu 35 tahun ini meyakini kebijakan diambil Jokowi demi Indonesia. Dalam pandangannya, kebijakan itu terpaksa dilakukan pemerintah lantaran kondisi ekonomi global. Namun, dia tak mau mempermasalahkan sebab pikirannya, selagi masih mendapatkan bantuan dari pemerintah maka tak mempermasalahkan. "Tak mau ambil pusing," tegas dia.

    Sementara itu, Wakil Ketua Super Jokowi, Luluk Nur Hamidah menilai tiap tahunnya kesadaran perempuan terhadap politik terus meningkat. Misalnya saat pelaksanaan pemilu. Jumlah partisipasi perempuan terus bertambah. Padahal di era orde baru perempuan bisa menjadi kepala desa adalah sebuah prestasi.

    Keterlibatan perempuan dalam birokrasi pun semakin meningkat. Kursi 30 persen wanita di legislatif makin diminati perempuan. Partai politik juga membuka ruang bagi perempuan untuk bergabung dan menjadi wakilnya di pemerintahan.

    Bukan di kelas menengah saja. Seiring berjalannya waktu, pendidikan politik di masyarakat mulai terasa dampaknya. Tak heran, bila di era digital saat ini, banyak emak-emak mulai melek politik. Terpaan informasi menyerang semua lini. Sosial media menjadi salah satu media berpengaruh dalam membangun opini publik.

    Momentum ini melahirkan kekuatan baru yang patut diperhitungkan oleh partai politik demi mencapai tujuannya. Sebab jumlah perempuan tidak sedikit. Bahkan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. "Ini yang harus dihitung oleh kekuatan politik termasuk presiden dan pesaingnya," ungkap Luluk.

    Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengamini pendapat Luluk. Dia setuju kekuatan emak-emak bakal mengambil andil besar dalam pemilu tahun depan. Sebab mereka pihak yang begitu merasakan dampak dari kebijakan pemerintah. "Militansi para emak-emak ini tak perlu diragukan," kata Mardani kepada merdeka.com.

    Sebagai inisator #2019gantipresiden, dia telah membuktikan sendiri. Kesetiaan para emak-emak saat memenangkan pasangan Anies-Sandi di Pilgub Jakarta tahun lalu. Dalam satu TPS misalnya, 10 dari sayap relawannya terdiri dari emak-emak. Dia memastikan kemenangan Anies-Sandi berkat militansi emak-emak di akar rumput.

    "Emak-emak itu setia, kalau sudah memilih kita tegar pendiriannya," ungkap Mardani.

    Terkait emak-emak banyak memilih menjadi aktif dalam berpolitik, Pengamat Sosial Musni Umar punya pandangannya sendiri. Menurut dia, menjelang Pilpres dan Pileg 2019, untuk kali pertama kaum perempuan khususnya ibu rumah tangga lebih gencar menyuarakan pendapat. Terlebih di era digital saat ini. Sebab menyatakan pendapat tak melulu melalui aksi demonstrasi. Melainkan melalui media sosial. Lewat situ mereka bisa langsung mengutarakan pendapatnya, sekalipun kepada pemerintah.

    Banyak keluhan hingga memuji pemerintah. Hanya saja, Musni menyebut di media sosial lebih banyak warga berteriak meminta perubahan. Sebab, lanjutnya, mereka saat ini tengah menghadapi situasi sulit. Terlebih dari sisi ekonomi. "Sebagai ibu rumah tangga mereka merasakan betul dampak setiap kebijakan, terutama masalah ekonomi," kata Musni pekan lalu.

    Rektor Universitas Ibnu Chaldun ini menerangkan gerakan emak-emak ini mampu memberikan andil besar dalam pemenangan Pileg dan Pilpres mendatang. Bila banyak mereka menginginkan perubahan, bukan hal mustahil bisa terjadi. Sebab mereka lebih realistis dan tak akan lagi memilih pihak yang akan menyulitkan dirinya.

    "Sekarang sedang sulit, maka mereka tidak akan mau memilih yang menyulitkan mereka. Jadi peluang untuk menumbangkan (inkumben) itu besar," ungkap Musni.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/