Kisah Heroik Pemuda Korea Bertempur Bela Kemerdekaan Indonesia
Gema Indonesia Raya - Sekelompok orang bergerak cepat di kegelapan malam. Mereka mengendap-endap mendekati Jembatan Cimanuk di wilayah Garut Jawa Barat. Pemimpinnya, seorang pria bernama Komaruddin.
Komaruddin merayap dengan lincah di bawah jembatan. Dia memasang bom rakitan di sejumlah titik kontruksi jembatan yang merupakan akses penting menuju Wanaraja itu. Setelah beres, dia bergerak cepat meninggalkan jembatan Cimanuk.
Beberapa menit kemudian, “Glaaaarrr!” Ledakan keras membahana. Jembatan Cimanuk roboh ke sungai yang mengalir di bawahnya. Peristiwa itu terjadi tahun 1947.
Belanda murka luar biasa. Niat mereka menyerang basis pejuang Republik Indonesia di Wanaraja terpaksa ditunda. Rupanya rencana itu keburu ketahuan telik sandi Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang kemudian memutuskan untuk segera menghancurkan jembatan Cimanuk untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda.
Belanda tahu siapa pelaku utama penyerangan itu. Komaruddin alias Yang Chil Sung atau Yang Chil Seong, seorang pria yang berasal dari Korea Selatan. Dia juga yang melatih anggota Pasukan Pangeran Papak ilmu kemiliteran, mulai dari menembak, membuat bom hingga intelijen alias telik sandi.
Siapa sebenarnya Yang Chil Sung ini?
Dia lahir di tahun 1919 di Wanjoo, Provinsi Jeolla Utara, Korea Selatan. Saat itu Jepang menjajah Korea. Mereka merekrut pembantu tentara jepang (gunsok) atau penjaga tawanan perang (phorokamsiwon) dari orang-orang Korea. Ada juga yang dijadikan ilbon gunnin (tentara reguler Jepang).
“Namun jika yang menjadi gunsok atau phorakamsiwon, jumlah yang dijadikan prajurit ini tidak banyak, karena Jepang menganggap menjadi prajurit adalah tugas ksatria dan sesuatu yang suci,” kata Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), dalam diskusi di Jakarta.
Di tubuh tentara Jepang, prajurit yang berasal dari daerah jajahan seperti Korea, Manchuria atau Taiwan, menjadi warga kelas dua. Salah sedikit saja, hukuman berat menanti.
Menurut catatan, Chil Sung adalah seorang penjaga tawanan perang (phrokamsiwon). Dia mendapat tugas menjaga camp tawanan di Bandung saat Jepang menguasai Nusantara tahun 1942.
Namun Rostineu tidak yakin jika Chil Sung hanya seorang penjaga tawanan. Melihat kemampuan militernya yang luar biasa. Militer Jepang tidak akan mengajari seorang penjaga tawanan biasa untuk merakit bom, perang gerilya dan intelijen.
“Dugaan saya, dia ini sebenarnya tentara Jepang. Hanya karena kebanyakan orang Korea menjadi penjaga tawanan perang maka dia diduga menjadi phorakamsiwon,” kata Rostineu.
Di camp tawanan ini Chil Sung bertemu seorang wanita Indonesia, Lience Wenas, yang menjenguk kakaknya. Keduanya saling jatuh cinta dan menikah. Namun pernikahannya tidak lama.
Tahun 1945, Jepang kalah perang. Pasukan Jepang wajib menyerahkan senjata pada tentara sekutu. Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia kembali datang ke Nusantara.
Situasi menjadi tidak menentu. Sejumlah tentara Korea resah dengan keadaan ini. Di satu sisi mereka senang terbebas dari Jepang. Namun mereka juga takut akan disamakan dengan tentara Jepang dan dieksekusi sebagai tawanan perang oleh sekutu. Yan Chil Sung pun mengalami kegalauan serupa.
Bergabung dengan Pasukan Indonesia
Kekalahan Jepang dimanfaatkan Indonesia untuk memprokamirkan kemerdekaaan tanggal 17 Agustus 1945. Para pemuda berusaha merebut senjata dari tentara Jepang yang tersisa.
Tahun 1946, Pasukan Pangeran Papak (PPP) pimpinan Mayor Kosasih menyerang Bandung. Dalam sebuah pertempuran, mereka berhasil menawan lima orang tentara Jepang. Semula mereka semua hendak dieksekusi mati, namun dicegah oleh Mayor Kosasih. Yang Chil Sung adalah salah satu di antaranya.
“Mayor Kosasih mungkin mendapat firasat jika kelima orang ini akan berguna untuk membantu perjuangan mereka. Dan kelak hal itu terbukti,” kata Hendi Jo, jurnalis sejarah dan penulis buku Orang-orang di Garis Depan.
Kelima orang itu dibawa ke basis gerilya di Wanaraja dan diperlakukan dengan baik. Timbulah rasa simpati dari mereka terhadap perjuangan Indonesia. Apalagi Chil Sung juga merasakan penjajahan oleh Jepang.
“Suatu hari mereka bahkan menyatakan ingin masuk Islam. Maka mereka mengucapkan kalimah syahadat dan nama mereka diganti oleh seorang ulama, Raden Djajadiwangsa, yang juga penasihat pasukan ini,” kata Hendi Jo.
Maka Yang Chil Sung menjadi Komaruddin, Hasegawa menjadi Abu Bakar, Aoki jadi Usman. Dua lagi orang Jepang lagi dipanggil Umar dan Ali. Menurut Hendi, Raden Djajadiwangsa memberikan nama berdasarkan karakter dari tiap-tiap tentara Jepang ini.
Komarudin |
Di Pasukan Pangeran Papak, Komaruddin alias Chil Sung mendapat pangkat letnan dua. Dia melatih pasukan gerilya aneka teknik bertempur. Keberanian dan kemampuan Chil Sung membuat orang-orang kagum.
Setelah eks tentara Jepang ini bergabung, kesatuan PPP menjadi sangat berbahaya. Aneka serangan maut dan sabotase yang dilakukan secara gerilya membuat Belanda kewalahan. Termasuk soal penghancuran jembatan Cimanuk yang memporak-porandakan rencana Belanda. Belanda pun murka dan berusaha menangkap mereka hidup atau mati.
Untuk memburu Komaruddin dkk, Belanda khusus membentuk satu tim elite berisi pasukan pilihan. Mereka terus bergerak menjepit kedudukan PPP.
Suatu malam pada Agustus 1948, PPP mengadakan pertemuan di Desa Parentas yang merupakan wilayah kaki Gunung Dora di perbatasan Garut-Tasikmalaya. Abubakar, Usman dan Komaruddin, turut hadir.
“Mereka tak sadar pasukan Belanda sudah mengepung rapat tempat itu. Ada anggota Pasukan Pangeran Papak yang berkhianat dan menjadi kaki tangan Belanda,” kata Hendi Jo.
Rentetan tembakan langsung menyalak, gerilyawan RI mencoba bertahan. Namun mereka sadar sudah tak mungkin meloloskan diri. Komaruddin, Abubakar dan Usman terpaksa menyerah.
Militer Belanda lantas membuat pengadilan militer kilat. Hasilnya, Komaruddin, Usman, dan Abubakar divonis hukuman mati. Ketiganya menerima vonis dengan gagah berani.
“Mereka hanya minta dimakamkan secara Islam ketika meninggal. Permintaan itu dipenuhi Belanda,” kata Hendi Jo.
Selasa 10 Agustus 1948, selepas subuh ketiganya dibawa ke Lapangan Kerkhoff yang terletak di seberang Sungai Cimanuk. Semuanya menggunakan baju koko dan kopiah.
Tepat pukul 06.00 pagi, rentetan tembakan terdengar. Komaruddin, Usman, dan Abubakar ambruk ke tanah. Sebelum meninggal mereka sempat berteriak “Merdeka!”
Pengorbanan dan keyakinan perjuangan yang mereka bawa sampai mati.
Jasad Abubakar (Hasegawa), Usman (Aoki) dan Komaruddin (Yang Chil Sung) dikebumikan di Pemakaman Pasirpogor. 27 tahun kemudian, kerangka mereka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Tenjolaya, Garut.
“Ini sebuah kisah yang sangat mengharukan, sangat inspiratif, bahwa kemerdekaan Indonesia ternyata diperjuangkan oleh orang-orang dari bangsa lain juga. Sudah sepantasnya jika Komaruddin dkk ini menjadi pahlawan,” tutup Hendi Jo.
(kl/merdeka)
Note: Pasukan Pengeran Papak (PPP) merupakan pasukan yang mengambil nama anak dari Ratu Ageng Serang, pengasuh sekaligus guru ngaji dan guru berperang dari Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang sendiri di usianya yang sudah 70 tahun memimpin satu pasukan berkuda yang sangat ditakuti Belanda di daerah Kulon Progo
No comments