Bendera Tauhid Dibakar, Bukti Kedangkalan Pemahaman dan Kebencian Terhadap Simbol Islam
Gema Indonesia Raya - Saat hari santri nasional, saat para santri berkhidmat memuji dan memuliakan Nabi dengan bacaan sholawat, jejaring media sosial dihebohkan dengan beredar luasnya video beberapa oknum Banser yang membakar bendera tauhid dengan lafadz ‘Laa Ilaaha Ilallah, Muhammadur Rasulullah’. Tidak cukup membakar, pelaku juga menyanyikan yel-yel perjuangan dan mengibarkan bendera merah putih dalam aksi pembakaran bendera tauhid itu.
Pembakaran juga dilakukan secara sengaja dan terjadi di tempat terbuka untuk umum. Meskipun belum diketahui secara pasti, waktu dan lokasi insiden terjadi. Sebenarnya kejadian ini lebih layak disebut sebuah penghinaan ketimbang insiden atau kesalahan yang tidak direncanakan.
Jika dipahami dari latar dan suasana pembakaran, Insiden ini setidaknya mengkonfirmasi beberapa hal :
Pertama, ada kesalahan memahami bendera tauhid sebagai simbol keesaan Allah SWT dan ikrar keimanan terhadap Rasulullah SAW, menuju Pemahaman yang lain. Sehingga, pembakaran bendera tauhid seolah tidak dianggap sebagai pelecehan terhadap kalimat tauhid, melainkan ditujukan pada maksud yang lain.
Pemahaman rancu ini misalnya adalah penisbatan kalimat tauhid pada simbol atau atribut gerakan atau ormas tertentu, baik yang eksis ditanah air maupun ada di timur tengah. Penisbatan bendera tauhid sebagai bendera HTI, bendera ISIS, bendera teroris, atau stereotip jahat lain nampaknya telah menjadi latar pemahaman yang keliru sehingga secara sadar dan bangga mengambil tindakan yang keliru.
Kedua, adanya perasaan kebencian yang sangat yang melatarbelakangi insiden pembakaran sehingga pembakaran dianggap sebagai simbol pelampiasan amarah. Sebagai contoh, saat Yahudi Israel membantai kaum muslimin di Palestina, banyak kaum muslimin lainnya mengajukan protes dengan membakar bendera Israel.
Ketiga, ada motif pembelaan dan penjagaan simbol negara, dengan hadirnya bendera merah putih dalam aksi pembakaran bendera tauhid. Simbol ini, seolah menyampaikan pesan bahwa aksi pembakaran adalah dalam rangka menjaga sang merah putih, menjaga kesatuan dan kedaulatan bangsa.
Keempat, insiden ini meskipun dilakukan olah beberapa oknum ormas tetapi disaksikan dan didiamkan oleh puluhan pasang mata yang hadir di lokasi. Diamnya puluhan pasang mata, adalah bukti persetujuan atas aktivitas pembakaran bendera tauhid.
BENDERA TAUHID ADALAH BENDERA ISLAM
Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibn Majah telah mengeluarkan dari Ibn Abbas, ia berkata:
كَانَتْ رَايَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ، وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ
“Rayah Rasulullah Saw berwarna hitam dan Liwa beliau berwarna putih.”
Imam An-Nasai di Sunan al-Kubra, dan at-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Jabir:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
“Bahwa Nabi Saw masuk ke Mekah dan Liwa’ beliau berwarna putih.”
Ibn Abiy Syaibah di Mushannaf-nya mengeluarkan dari ‘Amrah ia berkata:
كَانَ لِوَاءُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْيَضَ
“Liwa Rasulullah Saw berwarna putih.”
Saat Rasulullah Saw menjadi panglima militer di Khaibar, beliau bersabda:
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ أَوْلَيَأْخُذَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَوْ قَالَ يُحِبُّ الله َوَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَيْهِ فَإِذَا نَحْنُ بِعَلِيٍّ وَمَا نَرْجُوهُ فَقَالُوا هَذَا عَلِيٌّ فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّايَةَ فَفَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ
“‘Sungguh besok aku akan menyerahkan ar-râyah atau ar-râyah itu akan diterima oleh seorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mengalahkan (musuh) dengan dia.’. Tiba-tiba kami melihat Ali, sementara kami semua mengharapkan dia. Mereka berkata, ‘Ini Ali.’. Lalu Rasulullah Saw memberikan ar-rayah itu kepada Ali. Kemudian Allah mengalahkan (musuh) dengan dia.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Saw. menyampaikan berita duka atas gugurnya Zaid, Ja‘far, dan Abdullah bin Rawahah, sebelum berita itu sampai kepada beliau, dengan bersabda:
أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَأُصِيبَ ثُمَّ أَخَذَهَا عَبْدُاللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَأُصِيبَ
“Ar-Râyah dipegang oleh Zaid, lalu ia gugur; kemudian diambil oleh Ja‘far, lalu ia pun gugur; kemudian diambil oleh Ibn Rawahah, dan ia pun gugur.” (HR. Bukhari)
Terkait tulisan kalimat tauhid, mayoritas informasi yang ada menjelaskan, bahwa yang bertuliskan kalimat tauhid adalah bendera Nabi SAW, semisal yang dikeluarkan ibnu Hajar al-Asqalani:
كان مكتوبا على رايته: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ.
“Bendera Nabi SAW bertuliskan kalimat tauhid.” (ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 2001, vol. 6, hlm. 147).
[Sumber: nu.or.id]
karena itu keliru besar, jika ada yang memahami bendera tauhid sebagai bendera organisasi atau gerakan tertentu. Bahkan sebuah penghinaan, ketika menjabarkan bendera tauhid sebagai bendera teroris. Seluruh kaum muslimin berhak menggunakan atribut bendera tauhid, sekaligus berkewajiban untuk menjaga marwah dan wibawanya, sebagai salah satu simbol Islam.
BANSER DAN ANSOR WAJIB INTROSPEKSI DAN MAWAS DIRI
Insiden pembakaran bendera tauhid ini tidak lepas dari kebijakan umum Ansor dan Banser yang diduga secara sengaja menyimpangkan makna bendera tauhid, baik dengan mendiamkan kekeliruan pemahaman di internal anggota atau bahkan secara sengaja dan doktrinal mengabarkan pemahaman yang keliru atas maksud bendera tauhid. Misalnya saja, bendera tauhid bukan bendera Islam, bendera tauhid adalah bendera ormas tertentu, bendera tauhid adalah simbol terorisme dan sederet pemahaman keliru lainnya.
Contoh kongkritnya adalah ketika Abu Janda yang menyebut dirinya kader Banser, keliru menyebut bendera tauhid sebagai bendera Turki Usmani. Setelah dijelaskan oleh Ust. Felix Shiau, barulah Abu Janda atau Permadi Arya terdiam. Di tingkat grass root Banser atau Ansor, mungkin saja terjadi penyimpangan pemahaman terkait bendera tauhid ini lebih parah.
Dalam kondisi seperti inilah, Banser dan Ansor harus segera introspeksi dan meluruskan pemahaman kader agar kesalahan ini tidak menjadi gejala umum yang nantinya tidak dipahami publik sebagai kesalahan oknum, melainkan penyelewengan pemahaman organisasi.
Penting juga untuk dipahami, sikap ksatria, jiwa patriot, cinta Pancasila dan NKRI bukanlah diwujudkan dengan membakar bendera tauhid. Sikap ini, lebih baik disalurkan dalam bentuk ikut menjaga kesatuan bangsa dengan mengutamakan persaudaraan dan toleransi antar sesama elemen anak bangsa, khususnya sesama saudara muslim.
Tindakan oknum Banser atau Ansor, yang marak membatalkan dan membubarkan sejumlah pengajian, melakukan sejumlah kriminalisasi terhadap Gus Nur, bahkan hingga secara terbuka menyerang ajaran Islam khilafah justru memantik disharmoni sosial dan sangat bertentangan dengan sila persatuan Indonesia. Kecintaan terhadap bangsa ini, justru harus diwujudkan dengan memerangi korupsi, narkoba, pesta maksiat, LBGT, perzinahan, dan seabrek persoalan bangsa lainnya.
Banser sepertinya belum membuat kerangka kerja nyata untuk memberantas korupsi akut yang melanda negeri ini sebagai bentuk sikap patriotik yang berjiwa NKRI. Bukankah korupsi yang telah merusak negeri ini ? Merampas hak dan kedaulatan ekonomi rakyat ? Bukan bendera tauhid.
Jika Banser dan Ansor membenci korupsi, seraya membakar bendera partai terkorup di negeri ini, secara nalar dan psikologis publik masih bisa dibenarkan. Merasa menjaga NKRI dengan memerangi korupsi, merasa menjaga mjarwah bendera merah putih dengan membakar bendera partai korup, sebagai bentuk ekspresi jaga NKRI dan Pancasila.
Sayangnya, bendera yang dibakar adalah bendera tauhid yang dengan dalih apapun tidak bisa dibenarkan. Lafadz tauhid adalah Lafadz yang membedakan umat Muhammad SAW dengan umat yang lain. Semoga, insiden ini tidak terulang di waktu yang akan datang. [swa]
Penulis : Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
No comments