Header Ads

  • Breaking News

    Sandi dan Adu Sprint Pemimpin Generasi Baru

    Sandi dan Adu Sprint Pemimpin Generasi Baru


    HARI-hari ini, hampir semua makhluk hidup di Indonesia, dengan sengaja atau tidak, ikut terlibat dalam berbagai percakapan mengenai Pemilu 2019. Memang ada Asian Games yang gegap gempita, namun selingan indah itu segera berlalu. Bahkan, di media sosial dan grup-grup WA, produksi teks maupun visual yang menarasikan salah satu kandidat capres dan cawapres secara negatif tak juga rehat walau Jokowi dan Prabowo telah berangkulan bersama atlit silat peraih medali emas. Seolah, kompetisi politik tak layak memiliki jeda, seperti pertandingan sepakbola yang memerlukan time-break setelah 45 menit.

    Di saat Jokowi dan Prabowo sibuk dengan berbagai urusan pengalungan medali di arena olahraga, kegiatan dua kutub politik tetap berjalan seperti biasa. Sandiaga Uno tancap gas dengan roadshow kesana kemari untuk menggaet emak-emak dan kaum milenial. KH Ma'ruf Amien, yang setelah pendaftaran ke KPU tanggal 10 Agustus pergi haji, pun cepat-cepat menyusul ketertinggalannya dalam sprint politik dari Sandi. Hanya selang beberapa saat setelah mendarat, Yai Ma’ruf, begitu ia biasa dipanggil oleh santri-santri, langsung mengumumkan bergabungnya Yusuf Mansur ke dalam tim sukses Jokowi. Walaupun, kabar itu kemudian oleh ditepis Yusuf Mansur dan dikoreksi Yai Mar’ruf sendiri.

    Sebagai figur yang dikenal sebagai dai televisi dan pelaku bisnis syariah, Yusuf Mansur lebih dari pas untuk digamit masuk ke tim Yai Ma’ruf. Ia dekat dekat dengan kelompok 212 dan Habib Riziq Shihab, sehingga bergabungnya ia dengan Tim Jokoruf menumbuhkan impresi bahwa yang bermigrasi dari 'sebelah' bukan saja figur-figur kurang penting seperti Kapitra dan Ngabalin, tapi juga figur penting seperti Yusuf.

    Belakangan, pamor Yusuf sebagai pelaku ekonomi keumatan naik daun setelah perusahan Paytren yang dipimpinnya mengaukuisi sebagian saham tempo.co. Ia tentu cocok untuk menguatkan narasi tentang ekonomi syariah yang melekat pada sosok Yai Ma'ruf. Jika Yai Ma’ruf adalah ulama sepuh yang lebih banyak bergerak di level kebijakan dan gagasan ekonomi syariah, Yusuf Mansur adalah wirausahawan muslim yang tangguh.

    Sebelum Yai Ma’ruf berupaya menggaet Yusuf, Jokowi sudah terlebih dulu mengumpulkan anak-anak muda penerus tahta berbagai kerajaan bisnis di Indonesia. Michael Soeryadjaya, Anindya Bakrie, Arini Subianto, dan nama-nama beken lainnya diundang ke istana. Mereka kini memegang tampuk kepemimpinan organisasi masing-masing, meneruskan legacy generasi keluarga yang lebih tua. Jika Yusuf muncul sebagai ikon usaha level menengah ke bawah yang sukses, maka para konglomerat muda itu merupakan pengendali kelompok-kelompok usaha besar yang mendominasi ekonomi dan menguasai kue kesejahteran Indonesia. Salah satu dari orang kaya muda itu, Eric Thohir, dikabarkan juga sedang diincar untuk menjadi Ketua Timses Jokowi-Ma’ruf.

    Gabungan antara pemuda pegiat ekonomi umat seperti Yusuf Mansur dan konglomerat muda seperti Eric Thohir dkk penting untuk disatukan oleh Tim JOMIN untuk mengimbangi persona dan citra Sandi sebagai pengusaha muda yang sukses "berenang" di dua "kolam" sekaligus: "kolam" ekonomi umat dan "kolam" konglomerasi.

    Kisah Sandi memulai sebuah usaha consulting kecil yang tumbuh meraksasa telah melegenda di kalangan wirausahawan muda. Ia pernah memimpin HIPMI, menjadi mentor para usahawan baru, dan naik kelas menjadi salah satu pengusaha besar Indonesia melalui Grup Saratoga.

    Saat terpilih menjadi Wagub DKI, Sandi menjalakan program OK-OCE untuk membangun pos kewirausahaan pada setiap kecamatan guna mencetak 200.000 wirausahawan baru. Capaian Sandi mungkin tidak pas jika dibandingkan dengan pebisnis tipe Eric Thohir dkk saja atau wirausahawan jenis Yusuf Mansur dkk saja, karena hidupnya merangkum kedua sisi itu.

    Pertarungan 2019 sesungguhnya juga akan banyak memperebutkan dua simbol kunci yang melekat pada Sandi: kemudaan dan ekonomi keumatan/kerakyatan. Jika Sandi menawarkan ramuan keduanya, maka pasangan kompetitornya maupun capres yang didampinginya tidak memilki hal tersebut. Setidaknya, Jokowi, Yai Ma’ruf, dan Prabowo bukan orang muda meskipun mereka merupakan pelaku ekonomi. Terlalu memaksa jika orang-orang itu dilabeli tokoh milenial maupun penggaet suara milenial. Mereka hanya punya kesempatan bertarung untuk momen 2019 dan sesudah itu selesai tanpa bayangan mencalonkan diri lagi lima tahun berikutnya.

    Sedangkan bagi Sandi, pertarungan 2019 adalah awal dari roadmap regenerasi kepemimpinan bangsa dan kepemimpinan blok politik yang digalang Partai Gerindra. Jika ia berhasil memenangkan Pilpres 2019, maka secara teori jalan dia akan lebih lempang untuk mengambil alih estafet kepemimpinan nasional tahun 2024. Namun, jika kalah, ia tetap menjadi pilihan realistis Prabowo untuk meneruskan kepemimpinan Gerindra.

    Saya kira, pilihan Prabowo pada Sandi, di luar soal kemampun logistiknya, adalah karena 2019 menjadi momen krusial bagi regenerasi kepemimpinan Partai Gerindra dan kontestasi pemimpin politik generasi baru di tahun 2024. Prabowo perlu mengorbitkan penerusnya dalam Pilpres 2019, meskipun harus mengecewakan Partai Demokrat yang hingga H-2 pendaftaran cawapres masih yakin AHY bakal mendampingi Prabowo.

    Alasan paling strategis adalah, Prabowo perlu menempatkan generasi penerusnya di garis start terdepan untuk kontestasi 2024. Ibarat pelari estafet, Prabowo berhasil menyalip SBY (juga politisi-politisi senior lainnya) di tikungan licin, sehingga memungkinkan Sandi sebagai pelari di depannya melesat duluan menjauh dari AHY dan kompetitor-kompetitor lainnya.

    Masuknya Sandi dalam slot Cawapres Prabowo membuat dia jadi satu-satunya pemimpin Indonesia generasi baru yang tampil dalam Pilpres 2019. Saat coblosan 17 April tahun depan, usia Sandi bahkan masih berkepala 4 alias belum genap 50 tahun.

    Secepat kilat, capaiannya sebagai politisi -merebut posisi Cawapres- melampui capaian politik pemimpin-pemimpin generasi baru lainnya, yang bahkan sudah menebar baliho di mana-mana sejak setahun terakhir; Muhaimin Iskandar, Puan Maharani, Agus Harimurti, dan Romahurmuziy.

    Sprint politik Sandi juga melewati figur-figur muda pejabat publik yang juga dianggap bakal melesat di tahun 2024, seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Tidak banyak yang sebelumnya membayangkan bahwa di lapangan politik, Sandi bisa "berlari" sehebat di lapangan bisnis. Bahkan, Sandi seperti pelari tanpa bayangan; namanya masuk sebagai Cawapres ketika ia belum pasang baliho atau sebar flyer dimanapun.

    Prabowo bersikap realitis jika menganggap 2019 adalah pertarungan dan pertaruhan politiknya yang terakhir. Kalah atau menang, lima tahun berikutnya adalah masa transisi Gerindra (dan parpol-parpol lain yang masih dipimpin generasi tua) untuk menyiapkan figur pemimpin partai yang segar dan cakap, sekaligus menjadi etalase yang "dijual" kepada publik generasi baru untuk kontestasi 2024. Dalam konteks ini, Partai Gerindra sudah maju selangkah dibandingkan parpol-parpol lain dalam mempersiapkan jagoannya untuk regenerasi pemimpin bangsa tahun 2024.

    Barangkali karena tak mau terlalu tertinggal jauh setelah "dikalahkan" dalam penentuan Cawapres Prabowo, Partai Demokrat segera menyusun siasat baru. Mereka mewacanakan duet Sandi-Agus untuk 2024 yang diharapkan tetap menarik konstituen PD yang tak mendapatkan coattail effect dari duet Prabowo-Sandi- untuk tetap loyal. Walau Agus tidak tampil dalam kontestasi Pilpres 2019, ada pesan kuat yang dikirimkan ke konstituen bahwa hasil elektoral PD dalam Pileg 2019 akan menjadi modal AHY untuk maju dalam Pipres 2024.

    Jika duet PADI menang, AHY berpeluang menjadi Menteri dan menempatkannya dalam spot pemimpin muda untuk regenerasi 2024. Jika Prabowo-Sandi kalah, AHY tetap menjadi tumpuan regenerasi kepemimpinan PD. Posisi Ketua Umum partai ini sepertinya akan pas untuk AHY. Ia telah menjadi energi bertahan yang baik bagi PD pasca terjadinya krisis internal dan sepanjang PD berada di luar pemerintahan. Posisi Ketum juga akan membantunya mempersiapkan kontestasi Pipres 2024 secara lebih serius.

    Jika jalur Sandi dan AHY untuk menapaki 2024 terkesan lebih lempang, trek para pemimpin muda lain seperti Imin, Rommy, dan Puan, mungkin akan lebih terjal. Jika koalisi JOMIN kalah dalam Pilpres, bisa saja Imin dan Romy disibukkan dengan dinamika internal partai masing-masing yang bakal menguras energi. Yenny Wahid bisa muncul sebagai alternatif pemimpin politik baru kalangan nahdliyyin jika leadership PKB "ditumbalkan" atas kekalahan JOMIN.

    Sementara itu, Puan, hingga saat ini belum tampak diendorse secara sungguh-sungguh menjadi pemimpin baru bagi partainya. Tidak ada upaya yang lebih serius untuk menggenjot citra Menko Kesra ini, di saat namanya disebut-sebut sebagai salah satu kandidat Cawapres Jokowi.

    Mungkin saja, PDIP masih berhitung. Mitos mengenai perlunya seorang solidarity maker yang kuat untuk menjaga keutuhan partai, kemungkinan akan mendorong Mega lebih berhati-hati dalam menyiapkan transisi kepemimpinan internal. Sejak awal pendiriannya, posisi ketum partai memang tak pernah lepas dari tangan Megawati, sehingga regenerasi pucuk pimpinan menjadi hal yang tak semudah membalik telapak tangan.[***]

    AK Supriyanto
    Koresponden RMOL untuk Eropa.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/