Ekonomi Indonesia Berdiri, Tapi Selalu Sempoyongan
Ekonomi Indonesia Berdiri, Tapi Selalu Sempoyongan
Gema Indonesia Raya - Terus merosotnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat menjadi sorotan serius semua pihak. Saat ini mata uang Garuda itu sudah menyentuk Rp 14.700-an per dolar AS.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menegaskan, dirinya sudah menyatakan tiga tahun sebelumnya bahwa ambang batas psikologi nilai tukar rupiah berada di angka Rp 15.000/1 USD.
Menurut Noorsy pemerintah tak perlu berbohong untuk membuat tenang masyarakat dengan mengatakan ambang batas psikologi nilai tukar Rp 20 ribu per dolar AS.
“Bagi saya Rp16 ribu saja sudah parah. Menurut saya fundamental makro Indonesia sudah rapuh dan kita rentan terhadap krisis,” ungkap Noorsy saat berbincang dengan awak media, Sabtu (1/9).
Noorsy membeberkan lima alasan ambang batas psikologi nilai tukar rupiah berada di angka Rp 15.000/1 USD
Pertama, defisit transaksi berjalan meningkat. Sekarang, terang dia, 3,04 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Penyebabnya, impor barang dan jasa yang Tinggi. Akibatnya, Indonesia tidak mempunyai stok dolar AS yang cukup, baik karena larinya investasi portofolio maupun karena meningkatnya kewajiban pembayaran impor.
Kedua, urai Noordy, meningkatnya ULN (utang luar negeri) bersamaan dengan meningkatnya kewajiban bayar pokok dan cicilan utang dalam mata uang dolar AS. Saat yang sama rasio perpajakan tidak membaik, sekitar 11 persen. Akibatnya keseimbangan primer menjadi defisit.
“Dua faktor di atas sama dengan pesan yang dikirim ke investor bahwa kondisi makro Indonesia rapuh. Ini yang saya bilang, berdiri tapi selalu sempoyongan,” sindirnya.
Ketiga, menggeser subsidi dari akuntansi makro (APBN) ke akuntansi mikro (BUMN) sama dengan memberi pesan, Indonesia siap mengobral cabang-cabang produksinya sekaligus sumberdayanya.
“Syarat, kepemimpinan politik harus cerdas dan cermat membangun situasi ekonomi politik yang sehat. Sayang, ini tidak dimiliki,” ungkap dia.
Keempat, kredit yang tidak dicairkan terus meningkat. Saat ini mencapai Rp 1.467 triliun lebih tinggi dari tahun lalu. Artinya, komponen peningkatan PDB didominasi asing.
Karena pemodal mencari yang aman dan menguntungkan, tentu Indonesia ditinggal.
“Indikator-indikator di atas menunjukkan, Indonesia dalam perangkap sistem perbudakan modern,” cetusnya.
Kelima, dilema pertumbuhan ekonomi dan stabilitas selalu akan terjadi. Karena pasar modal dan pasar uang selalu memberi sumbangan besar atas risiko perekonomian Indonesia.
Maka sebutannya emerging markets sebagai pengganti istilah negara berkembang, atau pegganti istilah negara dunia ketiga. “
Lalu, sampai kapan begini?
,” ujarnya.
Noorsy memperkirakan, Indonesia akan terus terperangkap sebagai budak modern dari negara-negara industrial atau kaum kapitalis dunia selama tidak membangun perekonomiannnya dengan rujukan ekonomi konstitusi.
“Setelah ambang itu (Rp 15.000 per dolar) terlampui, Indonesia akan merengek ke Bank Dunia dan IMF.
Indonesia akan kembali pasien IMF seperti Argentina sekarang ini,” terangnya.
“Sementara inflasi adalah saudara kembar suku bunga bank, dan saudara sekandung nilai tukar. Namun sepupu dengan transaksi berjalan.
Itu karenanya, BI, Kemenkeu, OJK, dan LPS harus berjuang keras agar ‘persaudaraan’ itu tidak berpotensi menghasilkan krisis,” pesan Noorsy. (tsc)
Sumber ; Eramuslim.com
No comments