Header Ads

  • Breaking News

    Media, Politik Pencitraan, Menggerus Nalar Bangsa

    Media, Politik Pencitraan, Menggerus Nalar Bangsa


    Gema Indonesia Raya - Hiruk pikuk politik telah menyeret kata pencit­raan ke aura persaingan. Kesan itu teramat sering kita dengar dari orang yang tidak sepihak dengan kandidat yang bukan bagiannya. Ada anggapan bahwa kata pencitraan memersonifikasi figur yang terlalu dibuat-buat, amatiran, dan juga dadakan. Kesan lain seolah kata pencitraan menyudutkan orang yang berbuat bukan karena kebiasaan. Lalu, apa sebenarnya kata pencitraan itu?

    Di dalam kajian sastra, pencitraan menjadi rasa yang dimunculkan oleh sebuah karya. Kesan itu ditangkap oleh indra, yang memantul berupa indah dan rasa. Citraan pun menjadi jiwa di dalam karya yang akan menjadi tafsir atas realitas yang ada.

    Sejauh masih di dalam lingkup sastra, pencitraan tetaplah menjadi daya pengungkap pesan yang hendak dikirim penyairnya. Puisi kekinian Sukmawati Soekarnoputri yang berjudul Ibu Indonesia bisa menjadi tamsil pengungkapan citra. Tak lama setelah puisi itu dibacakan muncul kegaduhan. Reaksi itu ditimbulkan oleh citraan yang teramat mudah ditafsirkan. Tanpa perenungan atau kotemplasi pesan puisi itu menyembulkan kontroversi.

    Dari puisi Sukmawati itu, tercitra jiwa dan sikap pengarang. Pun muncul interpretasi dari larik-larik Lebih cantik dari cadar dirimu//Lebih merdu dari alunan azanmu. Inilah citra yang mengungkap siapa penulis puisinya, apa tujuannya, dan kepada siapa dia mengirimnya. Kata Indonesia dalam judul itu pun menggeneralisasi jiwa dalam kacamata penulis. Pada akhirnya, tanpa menjadi sastrawan, teramat vulgar citra puisi itu dapat diungkapkan.

    Sekarang bagaimana pencitraan dalam perpolitikan? Tentu saja kata pencitraan diseret untuk banyak kepentingan. Kata itu tidak lagi sebagai alat ungkap rasa dan keindahan, tetapi dimaknai sebagai laku kepura-puraan. Ketakbiasaan muncul saat-saat dibutuhkan, kebaikan hanya penutup kemurkaan, atau raut keindahan hanya manis di permukaan. Intinya tidak ada jiwa yang dijiwai, tak ada manis yang abadi, tak ada rupa yang mendasari. Semua polesan itu sebentar saja akan sirna. Hilang bersama waktu dan kekalahan.

    Media adalah mesin pencitraan.

    Media menjadi pengatur ritme politik, jika diperhatikan media seperti kosmetik yang sengaja dioperasikan untuk terus memoles sebuah objek. Namun yang perlu diperhatikan, apabila kosmetik itu dirasa berlebihan tentu objek yang terus dipropagandakan malah akan membosankan. Sedangkan para para pemuja tak peduli dengan keadaan sebenarnya, terus saja tolak ukurnya hanya apa yang diberitakan media. Padahal media itu sendiri sengaja diperintah, bergerak seperti jaring, memproduksi konten kosmetik agar terlihat makin bersinar.

    Misalkan berita mengenai impor beras di saat panen, impor gula, impor singkong, impor garam, impor daging. Padahal ada yang pernah berjanji untuk tidak impor atau pernah ada yang berjanji untuk tidak hutang. Maka tetap saja kosmetik bernama media akan lakukan propaganda dan mengkondisikan mengapa harus impor dan hutang. Alam bawah sadar seperti dikontrol untuk matinya nalar para pemuja. Janji adalah janji itulah poin penting, namun gurita media dengan narasi kosmetik malah dijadikan pembenaran bagi para pemuja. Lymbic System yang telah lumpuh oleh konten lipstik yang disodorkan media secara massiv dan sistematis.

    Matinya nalar karena Limbic System yang telah dilumpuhkan oleh propaganda menjadikan para pemuja kehilangan sifat kritis. Mereka bahkan ikut memoles menjadi seolah bersinar, bahkan hingga tahapan glorifikasi. Apa itu glorifikasi? Glorifikasi itu aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga hingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela.

    Seorang pejabat butuh citra, apalagi dagangan 5 tahunan sekali butuh polesan. Apapun akan dilakukan untuk sekadar meraih simpati publik. Namun sesuatu yang berlebihan tentu membuat orang-orang yang memperhatikan akan muak sekali. Sebagai contoh kisah sebuah negeri yang benar-benar dibanjiri dengan polesan media. Semua serba dipoles, apalagi ketika masuk hajatan 5 tahun sekali. Narasi media begitu kental dengan aroma polesan.

    Mulai dari seakan dekat ulama, sederhana, hadir di pos-pos rakyat, teriak untuk kepentingan kelompok, statistik dan angka pencapaian yang padahal kontra dengan realita. Itu semua benar-benar menyihir. Namun saat minimnya prestasi, akibat janji yang meleset, maka glorifikasi sangat penting.

    Gurita media kini memainkan teknik Glittering Generality, yaitu penyampaian pesan yang memiliki implikasi bahwa sebuah pernyataan atau produk diinginkan oleh banyak orang atau mempunyai dukungan luas. Sebagai contoh narasi sendal jepit, bagi-bagi sepeda, sederhana, cintai petani. Namun fakta yang ditutupi kemudian bertabrakan dengan narasi sepeda motor build up, makan siang, keran impor, hutang yang meroket.

    Namun lagi-lagi para pemuja menjadikan dirinya sebagai lipstik. Ikut menjadi kosmetik memoles padahal ada fakta lain yang berseberangan dengan materi propaganda.

    Politik pencitraan

    Cara-cara berpolitik yang mengedepankan citra, disebut politik pencitraan. Sebagian besar usaha diarahkan untuk menciptakan citra yang baik, bahkan diusahakan sekuat tenaga untuk bisa menciptakan citra yang lebih baik dari kondisi yang sebenarnya.

    Berbeda dengan cara berpolitik pada umumnya yang mengejar prestasi kerja maksimal agar bisa membuahkan citra yang bagus di mata masyarakat, politik pencitraan berkonsentrasi menciptakan citra yang baik walaupun prestasi kerja sedang-sedang saja atau bahkan tidak berprestasi sama sekali.

    Tekniknya bermacam-macam, antara lain memanfaatkan momentum dengan cara membesar-besarkannya, atau dengan cara menempelkan diri dan bekerja sama dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

    Tentu saja alat pencitraan ialah dengan media sosial yang sekarang sudah sangat maju, mudah, cepat dan dimiliki oleh hampir setiap orang. Sehingga suatu berita atau suatu rekayasa pencitraan yang telah dibuat bisa dengan mudah dan cepat disebarkan kemasyarakat luas. Bahkan oleh tim pencitraannya yang sering disebut sebagai tim buzzer bisa segera disebarkan ke ratusan ribu pemilik handphone yang sekarang harganya sudah tidak terlalu mahal lagi .

    Jadi sangat jelas bahwa politik pencitraan sangat merugikan bangsa dan negara, namun demikian lebih aneh lagi bahwa pencitraan yang diperkuat dengan medsos banyak ditelan mentah-mentah oleh masyarakat luas. Bahkan termasuk kalangan masyarakat yang sangat terdidik sampai level paling atas dan paling senior sekalipun. Pencitraan bisa dipercayai begitu saja oleh kaum terdidik, bahkan bisa beredar berhari-hari, dibahas dalam konotasi dipercayai, di WA grup mereka. Bukannya dibahas dengan kritis tapi dipercaya sebagai kebenaran!

    Bilamana masyarakat dan terutama kaum terpelajarnya tidak mau mengubah sikap dalam menerima berita-berita pencitraan dan hasil rekayasa, atau tetap tidak kritis, maka politik pencitraan yang merusak akan berlangsung terus dan membuat bangsa ini tidak akan pernah maju. Bangsa-bangsa lain mengisi waktu dan pikiran dengan mendiskusikan ilmu pengetahuan terbaru, sementara bangsa ini menghabiskan waktu dengan mendiskusikan dan mempercayai pencitraan.



    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/