Header Ads

  • Breaking News

    Kekacauan Glorifikasi Dan Lipstiknya Bernama Pemuja

    Kekacauan Glorifikasi Dan Lipstiknya Bernama Pemuja


    Gema Indonesia Raya - Sendal, adalah alas kaki. Barang yang biasa digunakan di kaki ini sebetulnya biasa. Tapi menjadi luar biasa ketika perkara sendal saja disorot di media mainstream berhari-hari. Sendal menjadi barang luar biasa ketika digunakan seseorang yang mungkin tengah butuh citra untuk menunjukan dirinya sederhana. Tidak salah sih, tapi kalau sendal yang disorot dan padahal barang seperti itu juga digunakan rakyat biassa, ini jelas hal lucu.

    label sederhana itu relatif. Porsi sederhana itu tergantung dari sudut pandang apa. Jika sederhana yang dipaksakan dan kerap diulang, tentu akan jadi hal yang memuakkan. Minimnya prestasi seseorang sehingga butuh apa yang disebut glorifikasi. Apa itu glorifikasi? Glorifikasi itu aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga hingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela.

    Seorang pejabat butuh citra, apalagi dagangan 5 tahunan sekali butuh polesan. Apapun akan dilakukan untuk sekadar meraih simpati publik. Namun sesuatu yang berlebihan tentu membuat orang-orang yang memperhatikan akan muak sekali. Sebagai contoh kisah sebuah negeri yang benar-benar dibanjiri dengan polesan media. Semua serba dipoles, apalagi ketika masuk hajatan 5 tahun sekali. Narasi media begitu kental dengan aroma polesan.

    Mulai dari seakan dekat ulama, sederhana, hadir di pos-pos rakyat, teriak untuk kepentingan kelompok, statistik dan angka pencapaian yang padahal kontra dengan realita. Itu semua benar-benar menyihir. Namun saat minimnya prestasi, akibat janji yang meleset, maka glorifikasi sangat penting.

    Janji tidak impor nyatanya impor berbagai komoditas pangan terjadi, janji penegakan hukum kasus pelanggaran berat HAM tak ada kepastian hukum hingga kini. Janji swaembada pangan karena akhirnya keran impor begitu deras tentu kontra dengan janji awal. Janji tidak utang luar negeri, malah porsi utang begitu luar biasa dibanding rezim sebelumnya. Kasus impor garam, impor sapi, kerbau, sampai daging beku jelas kontra dengan janji swasembada. Hampir lupa, cabai, jagung, singkong, bahkan pacul juga impor.

    janji-janji seperti buyback indosat, dollar 10.000 kontra dengan realita, bahkan tarif listrik dan janji tidak menaikan BBM pada tahun tertentu juga jadi omong kosong. Maka glorifikasi sangat penting untuk memoles objek yang sebetulnya tidak bersinar dan kehilangan kepercayaan.

    Hal yang membuat kita muak adalah glorifikasi infrastruktur. Ya, seolah tidak ada infastruktur sebelum sebuah kekuasaan itu menggurita, klaim yang dilakukan di atas batas kewarasan. Ada beberapa contoh yang sempat beredar luas di media sosial seperti Jembatan Ampera di palembang yang diklaim sebuah akun medsos sebagai prestasi infrastruktur yang dibangun rezim saat ini, Jembatan Kelok Sembilan Sumatera Barat yang diklaim sebagai jalan tol di suka bumi yang dibangun penguasa saat ini, dan bahkan sebuah jalan tol diluar negeri diklaim sebagai jalan tol disebuah daerah di Indonesia, dan berbagai macam klaim lainnya.

    Seperti kebablasan, menganggap tidak adanya program pembangunan yang berkesinambungan. Padahal negara tersebut merdeka lebih dari 70 tahun, jadi glorifiasi atau klaim membabi buta sangat fatal akibatnya.

    Dengan berbagai klaim dan glorifikasi seolah tanpa sosok penguasa sekarang pembangunan itu tidak ada sebelumnya. Tapi hal itu semua dapat dibantah dengan jejak digital dan juga rangkaian program pembangunan sebelumnya. Tidak sampai situ, hal yang paling konyol adalah ketika glorifikasi ini mengalami kekacauan. Label sederhana dipaksa melalui corong media. Mulai dari sepatu, andong, jalan kaki, kaos, sendal jepit, menginap di hotel murah, minum kopi yang dikondisikan sseolah sederhan namun sangat kontra dengan kebijakan yang tadi disebutkan.

    Minimnya prestasi maka citra dan glorifikasi menjadi agenda wajib, dan akhirnya sikap gila hormat melanda. Adapun masalah “Gila Hormat”, ini sering kita temui ketika seorang publik figur atau penguasa yang sedang exist dengan jabatan-nya,melakukan suatu tindakan yang tercela,lalu dikritik oleh seseorang ,atau diungkapkan di media, mereka hilang kendali dan kontrol diri, lalu mengajukan gugatan ke pengadilan agar si penkritik itu di masukan ke penjara, berapa-pun mahalnya biaya pencitraan dan nama baik itu, mereka tempuh. Sebaliknya mereka yang terjerat hukum-pun bisa lolos dari jeratan hukum dan namanya menjadi lebih tenar dari sebelumnya saking lihainya membeli kehormatan dengan kekuatan uangnya mampu membayar pengacara dan via publikasi media, serta para koloninya yang telah dimandi-madukan oleh oknum tersebut.

    Begitu-pun “Euforia Kemenangan” yang dapat melupakan segalanya, lupa kalau bangsa ini sedang dalam keadaan kritis, banyak kemelut dan krisis sosial lainnya. Padahal Kalah dan menag dalam pertarungan itu seharusnya disikapi biasa saja, tokoh kemenangan yang sekejap tidak bisa meng-cover krisis yang sedang melanda bangsa ini, lagi pula bila dihitung-hitung berapa besar uang negara yang terkuras demi mencapai kemenangan yang semu itu, dibandingkan dengan jumlah biaya untuk kesejahteraan yang digulirkan oleh negara kepada rakyat yang kini sedang menderita, juga tidak sebanding dengan kemenangan yang diraih mereka.

    Karena ingin meraih nama baik, berapa-pun harganya dibeli saja, padahal Kejahatan Korupsi yang telah mencapai rekor dunia itu tidak bisa digantikan dengan peraihan gelar Menteri Keuangan terbaik dunia, apalagi kemenangan tersebut hasil dari naturalisasi label dari rekanan pemberi utang, sebenarnya apa yang harus dibanggakan dari semua itu, dan apakah kemenangan itu dapat melepaskan bangsa ini dari jeratan hutang luarnegri? atau keterpurukan hukum di dalam negri, atau bisa memberantas korupsi, atau-pun bisa menghilangkan dekadensi moral bangsa ini, terlebih dapat mensejahterakan rakyat negri ini. Yang jelas uang negara dan rakyat terkuras demi mempertahankan nama baik yang semu tersebut.

    Dengan demikian, bahayanya sudah sangat terasa oleh kita semua yaitu,para pengelola negri ini rame-rame “nebeng beken” dari even-even tersebut, sedangkan rakyat?

    Dalam tulisan saya terkait polesan dan gurita media, “… Menurut Garth S. Jowett and Victoria O’Donnell; Propaganda adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda. Saat ini media seperti menjadi monster propaganda, menghantam “Limbic System” yang dimiliki manusia. “Limbic System” yang berhubungan dengan emosi atau perasaan begitu mudah dipengaruhi oleh keadaan sekitar, entah itu disadari atau tidak disadari. Disinilah peran media sebagai alat propaganda…“. (Kosmetik Itu Bernama Gurita Media, Lipstiknya Bernama Pemuja).

    Sekali lagi, Glorifikasi itu aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga hingga terkesan hebat luar biasa, sangat suci, atau sempurna tanpa cela. Gurita media kini memainkan teknik Glittering Generality, yaitu penyampaian pesan yang memiliki implikasi bahwa sebuah pernyataan atau produk diinginkan oleh banyak orang atau mempunyai dukungan luas. Sebagai contoh narasi sendal jepit, bagi-bagi sepeda, sederhana, cintai petani. Namun fakta yang ditutupi kemudian bertabrakan dengan narasi sepeda motor build up, makan siang, keran impor, hutang yang meroket.

    Namun lagi-lagi para pemuja menjadikan dirinya sebagai lipstik. Ikut menjadi kosmetik memoles padahal ada fakta lain yang berseberangan dengan materi propaganda serta realita, sebab semuanya dinilai begitu sempurna. Bahkan fatwa haram untuk mengkritiknya.

    Sekian.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/