Header Ads

  • Breaking News

    Dilema Republik Dan Antek Kacung Yang Merajalela

    Dilema Republik Dan Antek Kacung Yang Merajalela


    Gema Indonesia Raya - Kisah awal sebenarnya merupakan hal yang lumrah, dan konon sudah fix mengikuti pakem demokrasi. Ada seorang Presiden ‘super kuat’ yang bertitah layaknya paduka selama tiga dasawarsa, menua dari segi umurnya namun menguat dari hal kekuasaannya.

    Lantas, pengerukan SDA oleh konspirasi asing menemukan takdirnya di akhir 90an, Raja Jawa tadi tumbang secara konstitusional. Dengan tajuk besar, bernama reformasi. Dengan gerbong berisikan aneka rupa. Ada oportunis pengusaha, ada kalangan kiri yang dendam, ada sosialis kiri gagap, penuh rekayasa.

    Mantan Presiden Orde Baru, Soeharto merupakan tokoh sejarah yang sukar untuk dinafikan. Oleh siapapun, baik kawan apalagi lawan politik. Karena ketokohan smiling general ini sudah meruyak sampai seantero ASEAN, bahkan sampai kawasan Pasifik.

    Kawasan Asia Pasifik, era 80-90an, barat menghitung nama besar jenderal ini. Coba buka lagi buku sejarah. Dan bandingkan pose berbaris para kepala negara, dulu dan kini. Dimana saat APEC Summit 1994 di Istana Bogor, Clinton sampai harus membungkuk saat menyalami orang kuat Asia tadi.

    Kemudian suasana kecut dan kontras akan sontak terasa, tatkala melihat betapa kepala negara saat ini, begitu biasa saja ditanggapi oleh protokoler saat menghadapi sesi foto bersama di event resmi KTT G-20 di Hamburg, Jerman.

    Kharisma dan wibawa negara tak dapat disangkal, selalu dan serta merta melekat pada pribadi ‘Raja Jawa’. Yang kali ini, adalah hasil besutan Pollster wahid Stan Greenberg pada 2014. Mungkin itulah sebabnya, percakapan dangkal dua ikon negara antara Indonesia dan Amriki, malah dipenuhi guyonan. “Presiden Trump, saya ingin menyampaikan salam dari jutaan penggemar Anda di Indonesia. ” katanya di Juli 2017 lalu.

    Bayangkan saja pembaca, hanya hal yang dangkal dan sebenarnya mampu diucapkan seorang atase saja, justru digelontorkan oleh lidah seorang pemimpin 260 juta rakyat. Bukan main. Benar-benar tak habis pikir. Sudah begitu, memakai teks pula. Waduh, ini Presiden atau level Walikota? Kok gagap ketemu bule? Kenapa gak fasih ucapkan pembicaraan non teks dalam diplomasi dua negara? Kemana peran penerjemah yang biasanya hadir? Dimana jago-jago istana, yang begitu garang menghardik narasi #2019GantiPresiden ? Hingga sempat membuat beberapa oposan tertuding oleh haatzaai artikelen ITE? Apakah mereka sengaja membiarkan begitu saja ikon populis tadi, direndahkan oleh situasi?

    Dan tanpa disadari, efek dari episode tadi akhirnya timbul gelombang baru pembelaan taklid buta oleh akun-akun berbayar di sosmed. Pemujaan berlebih akibat transferan rekening. Penghambaan akut dari budak terhadap tuan besarnya. Yang harus selalu benar walau terbukti sebar hoaks. Harus dibela hidup atau mati karena sudah ditahbiskan oleh pemujanya sebagai the messiah untuk Indonesia.

    Miris, tragis dan ironis. Menyimak isi percakapan di linimasa sosmed. Si A dikenal sebagai lelaki bergelar terhormat. Wira-wiri disebut bibir pembawa berita sebagai tokoh nasional. Kemudian, Ia merapat ke istana. Bisa jadi mendapatkan gelar atau jabatan. Dan, kedunguan seorang yang telah makan suap tetiba tersaji diatas kalimat-kalimat dusta milik pria tadi. Aneh? Di jaman Now, hal itu menjadi hal biasa. Karena pria tadi lebih memilih sebutan cebong laknat ketimbang adem-adem saja sebagai pria terhormat.

    Hal demikian dapat ditelusuri dari berbagai bidang keilmuan. Namun saya lebih senang mengupasnya dari sisi satire saja. Karena orang semacam tadi sebenarnya dalam hati kecilnya Ia tahu bahwa yang dikatakannya adalah dusta, bohong atau ngelantur. Salah satu contoh, bagaimana mungkin jalan tol yang dibangun berkesinambungan, memiliki renstra yang jelas, mendadak diaku sebagai karya tunggal milik junjungannya? Masuk akal? Jelas enggak. Terlihat dungu? Sudah jelas.

    Jadi pembaca, sosmed yang seharusnya menjadi area bercengkrama yang akrab antar netizen, dirusak oleh fanatisme gadungan segelintir oportunis pembela perut. Pengkultusan salah tempat. Dan pemujaan tokoh yang mengundang kejijikan bagi warganet yang waras.

    Berbagai cara mereka gunakan untuk mencaplok nalar sehat pengguna jasa dunia maya. Ingat gak sebutan bani lilin? Kelompok pemuja napi tersebut sempat mengharu-biru ranah sosmed di medio September 2016 hingga Maret 2017. Tapi anehnya, media mainstream juga ikutan mabuk dan menghamba pada kekuasaan. Bukannya mengkritisi perilaku aneh tadi, eh malah ikutan sinting dengan premis asal-asalan. Suram jadinya.

    Konstelasi ini demikian mengkhawatirkan sebagian warga negara yang perduli akan rasa kebersamaan, rasa tenggang rasa yang dulu sempat nyaman dirasakan di awal-awal era reformasi. Sebelum dirusak oleh beberapa agen konspirasi global.

    Sebut saja secara gambang, sebagian dari oknum di ormas NU, belakangan ini mulai menawarkan racun devide dengan nama ISNUS aka Islam Nusantara. Dengan kata lain, islam liberal memakai baju baru namun daleman sama. Sholat oke, nyajen juga gak apa-apa. HTI harus dibubarkan, karena membawa faham khilafah. Anti pancasila. Sementara disaat yang sama, OPM yang jelas-jelas makar terhadap NKRI dengan membunuhi warga. Mereka malah mingkem berjamaah. Sekali lagi, mental jongos haus akan uang mudah terlihat disitu.

    Kenapa pakai standar ganda? Kok bisa sangar kalo ngebubarin pengajian Ustadz Felix, tapi mengerucut sembunyi macam tikus, ketika melihat makar sesungguhnya? Ada Apa? Apakah kalian memegang teguh semboyan ‘maju tak gentar membela yang bayar?’ Jawab dong, jangan kerjaannya perkeruh suasana doangan.

    Terakhir, jelang 2019 ini. Pihak neo kolonialisme makin girang bukan kepalang. Bibit perpecahan yang dititipkan pada para jongos di linimasa, mulai beberapa tumbuh dan membesar. Isu seperti separatisme, ekonomi memburuk, ketimpangan hukum, korupsi atau tepatnya perampokan terang-terangan. Mampu ditutupi dengan baik oleh deretan budak berdasi, yang lakukan estafet kedunguan pada buzzer di sosmed, dan diyakini sudah ketagihan menjilat alas kaki meneer mereka.

    Separatisme OPM, dikacaukan dengan masifnya acara semu offair dukungan dua periode. Kasus-kasus ketimpangan hukum, direcoki oleh narasi gunting pita kebablasan. Korupsi atau penggarongan SDA, hampir selalu bersamaan dengan OTT anti rasuah yang menyasar duit puluhan juta.

    Republik ini terlalu indah untuk dirampok, teramat kaya untuk pengkhianat. Jangan dibiarkan, harus dilawan. Matikan gerak catur dalangnya, jangan bunuh bidaknya. Patahkan narasi dusta milik jongos sosmed, jangan musuhi pribadinya. Kasihan mereka, kalau gak fitnah (mungkin) gak makan. Satukan langkah dalam benak masing-masing. Kita berjuang demi idealisme tegaknya NKRI bersyariah. Bukan atas nama gemuknya rekening. Semoga Allah SWT meridhoi langkah dan niat kita. MERDEKA ! (*)


    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/