Header Ads

  • Breaking News

    Bungkam Kebebasan Berpendapat, Rezim Tirani Menunggu Hukuman Rakyat

    Bungkam Kebebasan Berpendapat, Rezim Tirani Menunggu Hukuman Rakyat

    Petugas kepolisian membubarkan massa aksi yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam saat aksi Refleksi 20 tahun Reformasi di Jakarta, Senin (21/5). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

    Gema Indonesia Raya - Kenyataan sinting kembali terjadi di negeri ini. Sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, penuh semangat gelora reformasi, tapi penguasanya tiba-tiba menjelma menjadi tirani. Apakah tanah ini akan kembali melahirkan seorang diktator sejati?

    Gelombang penentangan rakyat terhadap rezim Joko Widodo (Jokowi) mulai merembes ke seluruh pelosok Tanah Air. Di banyak daerah, mahasiswa mulai turun ke jalan-jalan, meneriakkan suara-suara lantang ke telinga para wakil rakyat, untuk meminta penguasa segera turun dari jabatan.

    Alasan mereka jelas, rezim ini telah gagal mengelola negara. Empat tahun berkuasa, perekonomian bangsa porak-poranda. Jumlah utang menggila dan penegakan hukum tidak lagi adil dan merata. Bangsa yang besar ini sudah bertransformasi menjadi bangsa yang sakit dan menderita.

    Semakin parah, ketika saluran demokrasi yang digunakan mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi, disumbat oleh tangan besi aparat. Unjuk rasa para intelektual muda, diladeni dengan aksi main pukul penegak hukum. Rezim ini seperti mengamalkan kembali cara-cara penguasa Orde Baru dalam meredam suara tukang kritik yang berisik.

    Di Bengkulu dan Medan, Sumatera Utara, oknum aparat kepolisian bertindak secara brutal menangani aksi demonstrasi. Sejumlah mahasiswa ditendang, dipukuli, dan diseret untuk diamankan ke balik jeruji besi. Tak sedikit mahasiswa yang terluka dan berdarah-darah. Bahkan ada pula yang tertembak kakinya.

    Bahkan, di Medan ini, sejumlah aparat TNI sampai turun tangan mengamankan mahasiswa dari kejaran dan aksi pemukulan yang dilakukan oknum kepolisian. Apakah ini yang namanya mengayomi? Saat mahasiswa menyuarakan nasib rakyat, mereka harus dipukuli dan diperlakukan secara tidak manusiawi?

    Ini merupakan cerminan dari sikap anti-kritik penguasa. Tanpa ada titah dan perintah, tak mungkin pula aparat berlaku sedemikian rupa. Bandingkan saja dengan pemerintahan sebelumnya. Sepuluh tahun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah, tak pernah penegak hukum bertindak serepresif saat sekarang.

    Kala itu, hak rakyat dalam menyampaikan pendapat benar-benar dihargai. Meskipun dalam beberapa kali terjadi aksi yang kebablasan, tapi tak dibalas dengan tindakan yang keterlaluan. Kebebasan rakyat dalam bersuara benar-benar mencapai puncak tertinggi sejak negeri ini berdiri.

    Sayangnya, masa-masa keemasan demokrasi itu telah berlalu. Pemerintahan berganti, sikap penguasa pun menjadi berbeda. Padahal sebagian besar polisinya masih itu-itu juga, aturan yang berlaku juga sama. Memang, beda pemimpin, lain pula perlakuan kepada rakyatnya.

    Rezim ini seakan tidak menyadari, sikap represif seperti ini tidak akan pernah bisa membungkan mulut rakyat. Semakin mereka tertindas, maka perlawanan akan kian menguat. Jangan lupa, bangsa ini sudah empat kali ‘mengalahkan’ penguasa yang berlaku otoriter.

    Pertama Soekarno, dijatuhkan oleh kudeta militer lantaran dinilai memerintah secara absolut. Kemudian Soeharto dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Keduanya dicopot akibat gelombang kekuatan rakyat. Terakhir adalah Megawati Soekarnoputri, seorang pemimpin yang tak disukai sehingga tidak pernah dipilih lagi.

    Jangan sampai Jokowi bernasib serupa. Kalah dalam pemilihan suara karena tak lagi dipercaya. Apalagi kalau sampai diturunkan di tengah jalan, lantaran reformasi kembali digulirkan. Ada baiknya ia segera memperbaiki diri, daripada rakyat yang menjatuhkan hukuman sehingga harus turun tahta sebelum masanya.

    Beberapa waktu lalu, SBY pernah berbagi saran kepada Jokowi. Ada empat poin yang disampaikan ketua umum Partai Demokrat itu, agar reformasi tak terulang lagi. Pertama, kekuasaan tak boleh terlalu absolut, agar kebebasan rakyat terjamin dan demokrasi bisa hidup.

    Kedua, hukum harus tegak dan tak boleh tebang pilih. Ketiga, ekonomi mesti adil dan menyejahterakan seluruh rakyat. Keempat, dalam politik praktis (termasuk pemilu), negara (termasuk TNI, Polri dan BIN) wajib netral dan tak boleh berpihak.

    Jadi, jika tidak ingin berakhir seperti rezim Orba, ada baiknya nasihat mantan kepala negara yang berhasil memimpin bangsa dua periode ini dijadikan sebagai landasan berpikir.

    Ingatlah petuah Presiden RI pertama, Soekarno, “Kekuasaan seorang presiden ada batasnya, karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

    Oleh: Patrick Wilson
    Sumber : Politiktoday

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/