Header Ads

  • Breaking News

    #CatatanRezim Kedustaan Tentang Janji Tolak Hutang Luar Negeri

    #CatatanRezim Kedustaan Tentang Janji Tolak Hutang Luar Negeri


    Gema Indonesia Raya - Awalnya adalah kalimat bombasme yang mampu menggetarkan setiap penantang duet nasionalis saat itu. Jokowi-JK Tolak Hutang Luar Negeri.

    Cetar membahana, begitu mengawang di angkasa, merasuki dengan jahat pikiran polos yang tak memiliki basic data yang kuat. Untuk pada akhirnya, menggiring kepolosan tadi di berbagai bilik suara.

    Mencoblos pilihan yang kelak akan disesali belakangan ini. Saat kejadian behind the screen sesungguhnya adalah sebaliknya. Pemerintah justru terkesan gemar berhutang.

    Dalam tulisan kali ini, penulis coba membedah lelaku dusta milik rezim per chapter. Yakni penggiringan opini, fade out, spin doctor beraksi, dan terakhir intinya adalah dusta. Monggo disimak.

    Sumber : Liputan6.com | https://bit.ly/2xe5SfG

    Penggiringan Opini

    Dalam fase ini, tentunya berada dalam masa pra kampanye atau sedang kampanye. Ketika itu, kedua kubu berdandan, menor sekali. Kalau tidak mau dibilang norak. Jujur saja, saat itu penulis sudah menyangsikan beberapa slogan kampanye kotak-kotak tersebut, diantaranya ya soal hutang ini.

    Bagaimana mungkin, sebuah negara yang memiliki rentang sejarah sebagai bangsa yang memeluk kapitalisme dalam program ekonominya, justru menihilkan utang. Bukankah dalam trilogi pembangunan termaktub adanya kalimat pertumbuhan ekonomi? Nah, tentunya mengharuskan pembangunan fisik. Pembangunan fisik dari mana uangnya? Pajak? Belum meleknya sebagian masyarakat akan pentingnya pajak, tingginya beban APBN digelayuti pos pengeluaran belanja pegawai,membuat rezim orba pada akhirnya berhutang, pun demikian beberapa presiden setelahnya.

    Namun, demi menyihir para calon konstituen yang berdasarkan hasil lembaga survey, (maaf) didominasi kalangan berpendidikan rendah. Akhirnya slogan tolak utang luar negeri dibungkus sedemikian rupa menjadi ajian tipu-tipu tingkat tinggi.

    Pada 3 Juni 2014 di portal berita detikcom, melalui sekjen PDIP Tjahyo Kumolo, pasangan capres saat itu, Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) secara tegas akan menolak penambahan utang luar negeri baru apabila terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) di periode 2014-2019.

    Ia juga berujar bahwa visi misi untuk menjalankan sejumlah program di bidang ekonomi dalam jangka pendek, menengah dan panjang

    “Kita mau mandiri, sehingga segala bentuk proses pembangunan pendidikan, infrastruktur harus menggunakan dana sendiri. Menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun,” jelasnya.

    Mantap bukan?

    Setelah mampu membius sebagian kalangan, hingga menumbuhkan militansi pemilihnya yang berujung duet tadi terpilih secara ‘aklamasi’ sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI masa bakti 2014-2019. Secara perlahan soal utang luar negeri tadi, kemudian diminta buktinya oleh sebagian pemilih lainnya. Sebagai bukti lurus tidaknya lidah rezim. Dan ternyata, fakta menyebutkan bahwa rezim ini justru gemar sekali berhutang. Terlebih pada negeri Tiongkok.

    Indikasinya adalah, bertemunya dua aliran pemikiran, satu dari Presiden China Xi Jinping yang memiliki program One Belt One Road. Berikutnya dengan Presiden Jokowi dan Tol Lautnya. Ini dijadikan sebagai keterkaitan, atau mungkin sebenarnya cuma kebetulan saja.

    Namun hal ini sontak disambut oleh kelompok pemuja oligarki dengan sukacita. Bagai pucuk dicinta ulam tiba. Segera saja mereka menstimulir kondisi kembalinya negara berhutang, dengan adagium ‘infrastruktur’

    Maka bersicepatlah para cukong pemburu rente, makelar pembebasan lahan tol-bandara-pelabuhan. Dalam satu bangunan kokoh bernama Mafia proyek. Dengan mengambil momentum infrastruktur tadi. Para lintah penghisap APBN, bergumul dalam proposal bertumpuk-tumpuk. Untuk segera ditandatangani oleh Yang Mulia Presiden.

    Fade Out

    Pada 31 Juli 2017 atau tepat 3 tahun masa rezim doyan reshuffle berkuasa, melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro, pemerintah secara resmi mengatakan, “adanya keterlibatan Cina di Indonesia lebih pada investasi infrastruktur. Jadi bukan pinjaman,” ujar Bambang kepada Republika.

    Ia mengatakan, pinjaman pemerintah dari Cina relatif kecil. Meski begitu, Bambang tidak memungkiri, kalau ada peningkatan pinjaman dari Cina.

    Walau diplintir sedemikian rupa, kalau kita jeli memperhatikan bahwa pemerintah mulai meninggalkan secara perlahan jargon Jokowi-JK Tolak Hutang. Dan faktanya adalah utang dari 2014 sampai Mei 2017 jumlah utang Indonesia malah meningkat sekitar 7,622 miliar dolar AS atau naik hampir dua kali lipatnya.

    See? Pelaan sekali jargon tolak hutang tadi ditinggalkan. Dengan arahan dari meja istana untuk dikemas cheerleader rezim dan menghujani ruang sosmed oleh para buzzer, maka publik kembali dibius soal slogan bombastis tolak hutang.

    Tapi pembaca, keadaan ini tentunya bukan mulus-mulus saja seperti muka artis habis dipermak salon. Kondisi ini sejatinya menimbulkan resistensi dari kubu oposisi. Yang dengan cermat dan teliti menyajikan fakta sebaliknya. Rezim gemar sekali berhutang.

    Perang data pun terjadi antara ekonom berhati nasionalis seperti Bung RR, Prof Rn di temlen tweetland. Yang dalam hal ini pemerintah aka rezim sebenarnya terdesak, karena bukti kuat terpapar. Bahwa negeri ini sedang dibanjiri hutang. Malah SINDO Weekly menurunkan cover depan media dengan tema Mabuk Hutang. Artinya negeri ini perlahan sedang digadaikan, sedang dikapling-kapling seperti rumah type 36. Lu sebelah sono, Gua pulau yang ada tambangnya, kata para kreditur hutang.

    Miris bin tragis plus ironis, negara sekaya ini kok malah banyak hutangnya. Apa yang salah? Kondisi ini bukan digunakan oleh rezim untuk mengkoreksi kebijakan yang mungkin keliru, namun terus fabrikasi narasi nyepin. Para spin doctor resmi selevel menteri ikut menghujani atmosfer publik dengan berbagai pembelaan soal baiknya berhutang.

    Perhatikan, awalnya kalau berkuasa akan menolak hutang. Terus setelah berkuasa justru malah berhutang. Lama kelamaan makin kesurupan dalam pola berhutang. Nanti diujungnya, kelompok seperti ini biasanya lari dari tanggung jawab. Kan gua udah punya asset di LN, tinggal oplas muka gua, ganti identitas nikmatin deh rente selama berkuasa. Demikian setan tamak dan rakus terus saja membisiki jiwa lemah milik penghamba utang.

    Spin doctor beraksi

    Di 27 Juli 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan alasan mengapa pemerintah Indonesia memiliki utang hingga ribuan triliun.

    Total utang pemerintah pusat hingga Juni 2017 tercatat Rp3.706,52 triliun. Jumlah itu naik Rp34,19 triliun dari posisi akhir bulan Mei 2017 sebesar Rp3.672,33 triliun.

    Dia mengungkapkan, Indonesia merupakan suatu negara dengan penduduk 257 juta jiwa yang mayoritas usia muda. Akibatnya, investasi di sektor sumber daya manusia (SDM) merupakan suatu keharusan dan bukan suatu yang bisa ditunda.

    Apalagi, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia masih kalah dibanding negara lain. Saat ini, IPM Indonesia di bawah 70, sementara negara lain sudah di atas 73. Tak hanya itu, 10,7% masyarakat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan dan membutuhkan intervensi pemerintah untuk memutus siklus kemiskinan tersebut, kata Menteri Keuangan Terbaik tadi.

    Semuanya mendadak jadi sah. Harus berhutang, kalau tidak begini loh. Nanti akan begitu. Kata beliau. Kok waktu belum berkuasa, mau bicara tidak difikir dulu, mau keluarkan statement seperti anak PAUD kalau mau makan, sebentar mau yang ini kemudian malah pilih yang itu. Seperti anak kecil mentalnya.

    Intinya adalah Dusta

    Di chapter terakhir ini hanya penegasan saja. Sesungguhnya dari uraian kalimat diatas, rezim ini seringkali ketebok berbohong. Kerap menyebutkan sesuatu yang tidak akan mungkin dijalankan olehnya. Karena, empat tahun atau pada periode 2014-2018 jumlah utang pemerintah bertambah dari Rp 2.608,8 triliun menjadi Rp 4.253,02 triliun per Juli.

    Tapi pertanyaannya, kenapa masyarakat sebagian bisa percaya ya? Itulah pemirsa sekalian peran dan fungsi kata propaganda. Kalau cuma sekali diucapkan, akan mudah terlihat sebagai kebohongan. Tapi masalahnya, bagaimana kalau pagi siang sore malam terus menerus masif diucapkan? Dengan bantuan layar kaca, layar gadget, digoreng media, disemburkan oleh buzzer rezim? Ya seperti sekarang kondisinya. Menyedihkan.

    Belum terlambat, dan tetap harus dikritisi pola gemar berbohong dan doyan berhutang seperti sekarang ini. Karena, apakah kita tega, meninggalkan warisan tapi bukan warisan ilmu atau kebahagiaan? Kok sebagai pendahulu malah meninggalkan warisan hutang? Bagaimana nasib anak cucu kita nanti saat tahu mempunyai peer hutang ribuan trilyun? Mari sama-sama kita lawan dan kita pikirkan jalan keluarnya dari sekarang. Sekian.

    [http://paradok.hol.es]

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    http://reactips.hol.es/pernak-pernik/1-pilihan-ava-media-sosial-untuk-pendukung/